Rabu, 22 September 2010

Sartono Anwar, Manager Coach Era 1980-an


Lakukan Pendekatan lewat Makan Bersama

Posisi manager coach yang seolah menjadi barang baru di sepak bola Indonesia sebenarnya tidak terlalu asing. Sartono Anwar, pelatih yang sudah 35 tahun mengarungi kerasnya kompetisi Indonesia, sudah melakoni peran ganda itu.

DIAR CANDRA, Sidoarjo

TOPI pet melekat di kepalanya. Itulah salah satu ciri pelatih yang satu ini.

Meski sudah terlihat sepuh karena sebagian rambutnya memutih, Sartono Anwar tak kehilangan pesona. Dengan penuh semangat, pria 63 tahun itu memberikan instruksi kepada anak buahnya di lapangan.

Saat ini Sartono tercatat sebagai pelatih Persibo Bojonegoro. Musim 2009-2010, Sartono sukses mengantarkan Laskar Angling Dharma, julukan Persibo, sebagai juara Divisi Utama Liga Indonesia. Musim ini bapak pesepak bola nasional Nova Arianto itu kembali dipercaya manajemen untuk mengantar Victor da Silva dkk menjajal padatnya kompetisi tertinggi tanah air, Indonesia Super League (ISL).

Soal wacana manager coach bagi klub-klub yang akan berlaga dalam kompetisi ISL musim ini, pria yang mengawali kiprah kepelatihan pada 1975 itu menyatakan kesanggupannya. ”Saya pernah kok menjadi manajer dan pelatih bersamaan,” kata Sartono.

Dia melakukan itu pada musim kompetisi 1987-1988. Saat itu, pria asal Semarang tersebut menangani tim asal ibu kota Jawa Tengah, PSIS Semarang, di level perserikatan. Pada musim pertamanya sebagai manager coach, Sartono berhasil mengantarkan Laskar Mahesa Jenar, julukan PSIS, menjadi juara perserikatan.

”Jadi manajer pelatih pada masa itu tidak seribet sekarang. Manajer saat itu, di era amatir, murni mengurusi nonteknis tim. Seperti mengatur uang saku pemain, makan pemain, transportasi, dan jadwal pertandingan. Kalau sekarang tugas manajer kan bertambah. Seperti nego pemain tim, menawar gaji, servis wasit, hingga cari sponsor untuk tim,” beber Sartono.

Maklum, pada masa itu, pengandaan tim, apalagi tim perserikatan, sepenuhnya ditanggung oleh APBD tiap daerah. Jadi posisi manajer betul-betul tinggal mengatur jalannya keuangan dan tidak dipusingkan mencari dana talangan atau yang lain. Tugas pelatih hanya konsentrasi di sisi tim teknis.

Posisi manager coach pada era 1980-an, menurut kakek dua cucu itu, memang lebih simpel. Terutama dalam mengatur sisi internal tim. Meski demikian, bukan berarti posisi ganda itu enteng. Alasannya, pelatih kelahiran 30 September itu punya kewajiban memastikan kondisi pemainnya seratus persen siap. Baik secara mental ataupun fisik.

Untuk menangkal berbagai gangguan dari faktor eksternal tim, mantan pemain sepak bola periode 1960-an itu punya cara tersendiri. Dia membiasakan pemain, pelatih, dan manajer makan bersama semeja tiga kali sehari. Minimal sepekan sebelum pertandingan. ”Yang penting bersatu dan rukun,” ucap Sartono.

Apalagi, saat itu belum tentu ada bonus setiap memenangi pertandingan. Akhirnya, faktor kebersamaan dalam satu tim benar-benar menjadi andalan Sartono untuk mengeratkan hubungan antar pemainnya. Nah, dalam acara makan bersama itu, mantan pemain PSIS Semarang, Persema Malang, dan Persib Bandung itu menyisipkan pembahasan teknis dan nonteknis. Jadi strategi tim dibahas di meja makan saat itu juga.

”Jadi fungsi manajer pelatih saat itu kurang lebih adalah menggodok mental dan memotivasi tim dari dua sisi. Teknis dan non-teknis. Kalau di era sekarang, yang katanya profesional, saya belum tahu. Karena belum pernah melakoninya,” ujar Sartono. (*/diq/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar